END USER COMPUTING
END USER COMPUTING
A. DEFINISI END-USER COMPUTING
End User Computing (EUC) systems adalah sistem informasi berbasis komputer yang secara langsung mendukung aplikasi operasional dan manajerial oleh end users
End User Computing salah satu metode pengembangan sistem berbasis komputer yang dilakukan oleh pemakai sendiri (user).
Selama tahun tahun terakhir ini ,banyak pemakai telah mengambil inisiatif untuk mengembangkan aplikasi mereka sendiri dari pada bergantung sepenuhnya pada para specialist informasi. Pendekatan ini dinamakan end-user computing atau EUC. Namun pemakai dapat menggunakan para specialist informasi untuk melaksanakan pekerjaan pengembangan atau untuk menjadi konsultan.
B. LATAR BELAKANG MUNCULNYA EUC
Bila CIO mempunyai pengaruh, sumber-sumber informasi perusahaan juga akan mengalami perubahan. Selama beberapa tahun, trend operasi pelayanan informasi terpusat telah berubah menjadi trend pendistribusian sumber-sumber komputerisasi keseluruh perusahaan, terutama dalam bentuk mikrokomputer.
Sebagian besar dari peralatan yang didistribusikan ini digunakan oleh pemakaian yang tidak mempunyai pemahaman komputer secara khusus. Aplikasi-aplikasi dari pemakai ini terdiri atas software tertulis yang telah dibuat oleh bagian unit pelayanan informasi atau diperoleh dari sumber-sumber luar. Namun demikian, ada juga pemakai yang hanya mengunakan komputer. Mereka ini juga mendisain dan mengimplementasikan aplikasinya sendiri.
Sekarang perusahaan dihadapkan pada tantangan untuk mengolah sumber-sumber informasi yang tersebar tersebut . dalam bagian in, kita akan meneliti gejal-gejalanya dan mencari beberapa cara yang dapat dilakukan oleh perusahaan agar ia dapat mencapai tingkat kontrol yang diharapkan.
C. END – USER COMPUTING sebagai masalah strategis
Para pemakai akhir dapat dikelompokkan menjadi 4 golongan berdasarkan kemampuan komputer .
1. Pemakai Akhir tingkat menu (menu- level end– users)
Yaitu pemakai akhir yang tidak mapu menciptakan perangkat lunak sendiri tetapi dapat berkomunikasi dengan perangkat lunak jadi dengan menggunakan menu yang ditampilkan oleh perangkat lunak berbasis Windows dan Mac
2. Pemakai akhir tingkat perintah (command level end-users)
Pemakai akhir memiliki kemampuan menggunakan perangkat lunak jadi untuk memilih menu dan menggunakan bahasa perintah dari perangkat lunak untuk melaksanakan operasi aritmatika dan logika pada data.
3. Pemakai akhir tingkat programmer (End-User Programmer)
Pemakai akhir dapat menggunakan bahasa-bahasa pemrograman seperti BASIC atau C++ dan mengembangkan program-program sesuai kebutuhan.
4. Personil pendukung fungsional
Yaitu spesialis informasi dalam arti sesungguhnya tetapi mereka berdidikasi pada area pemakai tertentu dan melapor pada manajer fungsional mereka.
D. JENIS – JENIS APLIKASI END – USER COMPUTING
Sebagian besar aplikasi End-User Computing dibatasi pada:
#Sistem pendukung keputusan (DSS) yang relatif mudah
#Aplikasi kantor virtual yang memenuhi kebutuhan perseorangan Selebihnya adalah tanggung jawab spesialis informasi untuk bekerja sama dengan pemakai dalam mengembangkan:
• Aplikasi SIM dan SIA
• DSS yang rumit
• Aplikasi kantor virtual yang memenuhi kebutuhan organisasional
• Sistem berbasis pengetahuan
E. MANFAAT END – USER COMPUTING :
• EUC menyeimbangkan kemampuan pengembang dengan tantangan sistem EUC menghilangkan atau mengurangi kesenjangan komunikasi antara pemakai dan spesialis informasi.
• Kreasi, pengendalian, dan implementasi oleh pemakai
• Sistem yang memenuhi kebutuhan pemakai
• Ketepatan waktu
• Membebaskan sumber daya sistem
• Kefleksibilitasan dan kemudahan penggunaan
F. APLIKASI END-USER POTENSIAL
End-User Computing hanya terbatas pada aplikasi DSS dan otomatisasi kantor, seperti word processing, pengiriman elektronik, dan pengkalenderan elektronik, yang dapat disesuaikan dengan sekelompok kecil pemakai. Dengan memahami aplikasi yang mana yang mungkin dikembangkan dan yang mungkin tidak bisa dikembangkan oleh End-User, maka hal ini akan menjadi teka-teki bagi arah perkembangan end-user computing. Ia memberikan indikasi mengenai bagaimana end-user dan spesialis informasi akan berdampingan dimasa mendatang.
G. RESIKO END – USER COMPUTING:
Perusahaan dihadapkan pada resiko ketika para pemakai mengembangkan sistem mereka sendiri antara lain adalah :
• Sistem yang buruk sasarannya
• Sistem yang buruk rancangan dan dokumentasinya.
• Penggunaan Sumber daya informasi yang tidak efisien
• Hilangnya Integritas Data
• Hilangnya keamanan
• Hilangnya pengendalian
Resiko di atas dapat berkurang jika jasa informasi yang mengembangkan sistem, karena adanya pengendalian terpusat.
H. JENIS END-USER COMPUTING
Salah satu study pertama mengenai end-user dilakukan pada tahun 1993 oleh John Rockart dari MIT dan Lauren S. Flannery, seorang mahasiswa jurusan MIT. Mereka menginterview 200 end-user ditujuh perusahaan dan menidentifikasi enam jenis, yaitu:
1. End-User Non-Pemrograman. Pemakai (user) ini hanya mempunyai pemahaman komputer yang sedikit atau mungkin tak punya sama sekali, dan ia hanya menggunakan sofware yang telah dibuat oleh orang lain. Ia berkomunikasi dengan hadware dengan bantuan menu dan mengandalkan orang lain untuk memberikan bantuan teknis.
2. User Tingkatan Perintah. Pemakai (user) ini menggunakan sofware tertulis yang telah tersedia, namun ia juga menggunakan 4GL untuk mengakses database dan membuat laporan khusus.
3. Progemmer End-User. Selain menggunakan sofware tertulis dan 4GL, pemakaian ini juga dapat menulis programnya sendiri dan menggunakan bahasa programan. Karena ia mempunyai pemahaman komputer yang lebih baik, ia biasanya menghasilkan informasi untuk pemakian non-programan dan pemakai tingkat perintah. Contoh pemakai jenis ini adalah aktuaris (penaksir), analis keuangan, dan insiyur.
4. Personel Pendukung Fungsional. Pemakai ini ditugaskan di unit fungsional perusahaan dan menangani penggunaan komputer. Ia mempunyai tingkatan sebagai ahli seperti yang ada di unit pelayanan informasi.
5. Personel Pendukung Komputerisasi End-User. Spesialis informasi ini ditugaskan di unit pelayanan informasi, namun membantu end-user dalam pengembangan sistem.
6. Programmer DP. Ia merupakan golongan programer khusus, yang ditugaskan di pelayanan informasi, yang diharapkan memberikan dukungan kepada end-user. Dukungan ini biasanya diberikan untuk menentukan harga kontrak.
I. FAKTOR YANG MENDORONG END-USER COMPUTING
Pada sebagian besar perusahaan, bagian pelayanan informasi terlalu banyak muatan kerja dan disitu terdapat antrean panjang pekerjaan yang menunggu pengimplemenstasiannya.
• Adanya timbunan pelayanan informasi ini merupakan sebab utama mengapa end-user computing menjadi popular, dimana pemakai menjadi tidak sabar dan memutuskan untuk melakukan pekerjaannya sendiri.
• Faktor lain adalah murahnya dan mudahnya penggunaan hardware dan software. Pemakai dapat membeli PC dan beberapa software pengembangan aplikasi dengan hanya seribu dolar atau sekitarnya, seringkali tidak usah melalui channel yang resmi.
• Pemahaman pemakai mengenai komputer dan informasi juga merupakan faktor menjadi populernya end-user computing ini. Sekarang semakin banyak pemakai yang telah mempelajari keterampilan komputer di sekolah dan mereka mempunyaikeyaknan yang kuat terhadap kemampuannya ini. Mereka tidak ragu-ragu lagi untuk mengembangkan dan membuat aplikasinya sendiri.
• Beberapa pemakai terdorong oleh prospek mengenai diperolehnya kemampuan untuk melakukan kontrol yag lebih cermat atas komputerisasi mereka. Pandangan ini diakibatkan oleh ketidakpercayaan mereka terhadap pelayanan informasi. Mungkin ada beberapa kasu-kasus kesalahan dan penembusan keamanan dalam pelayanan informasi.
• Pemakai mungkin juga terdorong untuk mengurangi biaya pemrosesan. Situadi ini terjadi dalam perusahaan yang memindahkan pembiayaan pengembangan dan penggunaan sistemkepada departemen yang memakai sistem tersebut, dan biaya tersebut diangap terlalu tinggi.
• Pengaruh atau dorongan eksekutif juga merupakan faktor. Phillip Ein-Dor dan Eli Segev, profesor pada Tel Aviv Univeristy, mangumpulkan data dari 21 perusahaan di wilayah Los Angeles dan mendapatkan bahwa persentasi end-user manajemen dan non-manajemen akan lebih tinggi jika CEO adalah pemakai.
J. KEUNTUNGAN DARI END-USER COMPUTING
End-User Computing memberikan keuntungan baik kepada perusahaan maupun pemakai.
Pertama, perusahaan akan memperoleh keuntungan dengan memindahkan beberapa muatan kerja dari bagian pelayanan informasi kepada end-user. Hal ini memungkinkan bagian pelayaan informasi untuk mengembangkan sistem organisasional yang mungkin lebih menjadi muatan kerja yang menumpuk selama beberapa bulan atau tahun. Ia juga memungkinkannya lebih mempunyai waktu untuk memelihara sistem yang telah berada pada komputer.
Kedua, tidak dikutsertakannya spesialis informasi dalam proses pengembangan bisa mengatasi masalah yang telah menggangu pengimpleentasian sepanjang era computer.
Senin, 25 Oktober 2010
persaingan dunia
DI tengah budaya global seperti saat ini, kompetisi dengan menggunakan standar kualitas internasional semakin nyata di hadapan kita. Semua aspek kehidupan seakan dipaksa untuk mengikuti standar yang bersifat global, mulai dari produk barang dan jasa sampai gaya hidup (life style) keseharian. Praktik kehidupan seperti itu secara mudah melanda bangsa kita. Anak-anak bangsa kita seakan dipaksa untuk membeli produk teknologi global secara membabi buta tanpa memperhitungkan kemanfaatannya secara fungsional melalui media iklan di media massa yang dikemas dengan amat ramah dan menarik. Bagi anak-anak indonesia yang tak memiliki kesadaran diri yang kuat, ia pasti akan serta merta mengikuti tanpa banyak pertimbangan.
Produk teknologi global untuk anak-anak memang tak terbendung saat ini. Berbagai produk dengan beragam merek mutakhir seakan menjejali dunia anak-anak kita. Sehingga, sejak dini hampir tak pernah tersadari bahwa ternyata anak-anak tumbuh menjadi generasi yang sangat konsumtif. Dalam diri anak-anak Indonesia telah terbentuk kepribadian ketergantungan yang sangat kuat dengan produk teknologi global. Dalam kondisi ini potensi dan daya kreatif anak-anak bangsa kita secara tak langsung terlumpuhkan karena terhipnotis oleh produk-produk yang menggiurkan kenikmatan dunia anak. Seiring dengan gempuran produk ini, anak jadi teralienasi dari internalisasi nilai keindonesiaan. Maka itu, tak heran manakala saat ini idola anak-anak kita berada dalam tokoh-tokoh yang ada dalam produk budaya global yang menghiasi kehidupannya.
Tak adanya perimbangan dengan produk negeri sendiri membuat produk global (asing) sangat mendominasi dunia anak-anak kita. Akibatnya, secara otomatis, anak-anak bangsa kita lebih mengenali nilai budaya global daripada nilai budaya sendiri. Dan itu sangat-sangat disayangkan sekali.Maka saat ini hampir sulit mengucap: “Kenalilah budaya sendiri sebelum mengenali budaya asing”. Mungkin masih bersyukur jika anak-anak kita terlebih dulu mengenali budaya asing sebelum mengenali budaya kita sendiri. Namun, realitas yang terjadi saat ini adalah anak-anak kita hanya mengenali budaya asing dan terasing dari budaya bangsanya sendiri.
Secara simultan pula bahwa sejak awal sebenarnya tak terjadi penginternalisasian nilai-nilai keindonesiaan pada anak-anak kita. Semuanya sebagai akibat kuatnya hegemoni produk-produk budaya global, yang menenggelamkan dan melenakan anak-anak kita, sehingga menjauhkan anak-anak kita dari identitas diri sebagai anak Indonesia. Identitas diri keindonesiaan pada diri anak sejak awal sudah terkikis. Sebagai orangtua, mungkin kita acapkali tak memikirkan sampai sejauh itu. Sebab, biasanya yang terpenting adalah anak-anak kita menjadi senang.
Dunia anak-anak bangsa kita saat ini memang telah didominasi dengan produk dan budaya global semacam itu. Mereka memang sudah masuk dalam jaring-jaring kehidupan budaya global, apalagi sekarang ini merebak dunia maya internet. Di dunia ini anak-anak kita dapat menjelajah dunia yang serba tak berbatas ruang dan waktu lagi. Dunia anak seakan sudah menjadi semacam dunia yang tak terkendali dan terbatas, sehingga proses internalisasi nilai-nilai budaya bangsa sendiri saat ini seakan tinggal menjadi seonggok romantisme.
Kendatipun demikian, realitasnya, saat ini kita sebagai orang Indonesia seharusnya memang masih perlu berjuang keras untuk setidaknya menyisipkan nilai-nilai budaya bangsa kita, agar kaki anak-anak kita masih berpijak pada kultur keindonesiaannya. Artinya, perlu ada arahan dari kita sebagai orangtua agar anak-anak kita tak tenggelam dalam budaya global dan melupakan budayanya sendiri. Persoalannya sekarang adalah, kita perlu memikirkan cara-cara yang lebih menarik perhatian anak, misalnya dengan mengemas permainan yang bernuansa keindonesiaan menjadi produk-produk yang menyenangkan anak.
Produk teknologi global untuk anak-anak memang tak terbendung saat ini. Berbagai produk dengan beragam merek mutakhir seakan menjejali dunia anak-anak kita. Sehingga, sejak dini hampir tak pernah tersadari bahwa ternyata anak-anak tumbuh menjadi generasi yang sangat konsumtif. Dalam diri anak-anak Indonesia telah terbentuk kepribadian ketergantungan yang sangat kuat dengan produk teknologi global. Dalam kondisi ini potensi dan daya kreatif anak-anak bangsa kita secara tak langsung terlumpuhkan karena terhipnotis oleh produk-produk yang menggiurkan kenikmatan dunia anak. Seiring dengan gempuran produk ini, anak jadi teralienasi dari internalisasi nilai keindonesiaan. Maka itu, tak heran manakala saat ini idola anak-anak kita berada dalam tokoh-tokoh yang ada dalam produk budaya global yang menghiasi kehidupannya.
Tak adanya perimbangan dengan produk negeri sendiri membuat produk global (asing) sangat mendominasi dunia anak-anak kita. Akibatnya, secara otomatis, anak-anak bangsa kita lebih mengenali nilai budaya global daripada nilai budaya sendiri. Dan itu sangat-sangat disayangkan sekali.Maka saat ini hampir sulit mengucap: “Kenalilah budaya sendiri sebelum mengenali budaya asing”. Mungkin masih bersyukur jika anak-anak kita terlebih dulu mengenali budaya asing sebelum mengenali budaya kita sendiri. Namun, realitas yang terjadi saat ini adalah anak-anak kita hanya mengenali budaya asing dan terasing dari budaya bangsanya sendiri.
Secara simultan pula bahwa sejak awal sebenarnya tak terjadi penginternalisasian nilai-nilai keindonesiaan pada anak-anak kita. Semuanya sebagai akibat kuatnya hegemoni produk-produk budaya global, yang menenggelamkan dan melenakan anak-anak kita, sehingga menjauhkan anak-anak kita dari identitas diri sebagai anak Indonesia. Identitas diri keindonesiaan pada diri anak sejak awal sudah terkikis. Sebagai orangtua, mungkin kita acapkali tak memikirkan sampai sejauh itu. Sebab, biasanya yang terpenting adalah anak-anak kita menjadi senang.
Dunia anak-anak bangsa kita saat ini memang telah didominasi dengan produk dan budaya global semacam itu. Mereka memang sudah masuk dalam jaring-jaring kehidupan budaya global, apalagi sekarang ini merebak dunia maya internet. Di dunia ini anak-anak kita dapat menjelajah dunia yang serba tak berbatas ruang dan waktu lagi. Dunia anak seakan sudah menjadi semacam dunia yang tak terkendali dan terbatas, sehingga proses internalisasi nilai-nilai budaya bangsa sendiri saat ini seakan tinggal menjadi seonggok romantisme.
Kendatipun demikian, realitasnya, saat ini kita sebagai orang Indonesia seharusnya memang masih perlu berjuang keras untuk setidaknya menyisipkan nilai-nilai budaya bangsa kita, agar kaki anak-anak kita masih berpijak pada kultur keindonesiaannya. Artinya, perlu ada arahan dari kita sebagai orangtua agar anak-anak kita tak tenggelam dalam budaya global dan melupakan budayanya sendiri. Persoalannya sekarang adalah, kita perlu memikirkan cara-cara yang lebih menarik perhatian anak, misalnya dengan mengemas permainan yang bernuansa keindonesiaan menjadi produk-produk yang menyenangkan anak.
akarta (ANTARA) - Presiden Direktur PT Sinar Mas, G. Sulistyanto, menilai tudingan Greenpeace bahwa pihaknya merusak hutan dan menyebabkan kepunahan keanekaragaman hayati di Indonesia merupakan bagian dari persaingan global.
"Tuduhan yang disampaikan Greenpeace terhadap perusakan hutan di Indonesia sebagai bagian dari bentuk persaingan dunia di bidang perdagangan," kata Sulistyanto saat dimintai komentarnya mengenai tudingan Greenpeace terhadap Sinar Mas di Jakarta, Selasa (6/7).
Menurut dia, Greenpeace menggunakan isu lingkungan ketika pemerintah Amerika Serikat (AS) tengah melakukan investigasi atas isu dumping terhadap produk kertas Indonesia.
Karena itu, dia menegaskan, "Tidak benar, Sinar Mas merusak hutan di Indonesia."
Dia mengatakan justru kelompok usaha Sinar Mas mengelola hutan secara lestari, bukan merusak hutan seperti yang dituduhkan. "Tiap hari Sinar Mas menanam sedikitnya 1 juta pohon, bagaimana mungkin jika perusahaan kami merusak hutan," katanya membantah.
Meskipun demikian, Sulistyanto menyatakan tuduhan Greenpeace itu hanya dapat dijawab jika audit ditangani konsultan independen yang dapat bersikap lebih netral dalam memberikan penilaian terhadap isu lingkungan yang dilontarkan lembaga swadaya masyarakat (LSM) pemerhati lingkungan tersebut.
Sebelumnya, kata Sulistyo, produsen kertas Indonesia juga dituduh melakukan praktik dumping oleh Industri kertas Korsel. Mereka mengajukan petisi antidumping terhadap produk kertas Indonesia pada tanggal 30 September 2002 dan perkaranya itu akhirnya diproses di World Trading Organization (WTO), namun di WTO Indonesia menang.
Pada September 2009, produsen kertas di Amerika Serikat, NewPage Corp., Appleton Coated LLC., Sappi Fine Paper, bersama serikat pekerja the United Steelworkers of America juga pernah mengajukan petisi antidumping dan antisubdisi (countervailing) terhadap produsen kertas lapis asal Indonesia dan Cina. Dalam petisinya mereka menuduh pemerintah Indonesia dan Cina melakukan dumping kertas lapis.
Kasus yang sama juga pernah diajukan di negeri Paman Sam pada 2007. Namun, keberatan yang disampaikan pengusaha kertas AS akhirnya dianulir Komisi Perdagangan Internasional.
Sebelumnya, Greenpeace Asia Tenggara menuding Divisi Pulp and Paper Sinar Mas, Asia Pulp and Paper (APP), masih terus melakukan perusakan hutan dan menyebabkan punahnya keanekaragaman hayati penting.
Jika perusakan hutan itu terus dibiarkan, kata juru kampanye hutan Greenpeace Asia Tenggara, Bustar Maitar dalam siaran pers Greenpeace yang diterima di Jakarta, Selasa, tindakan kelompok usaha kehutanan dan perkebunan tersebut akan mengancam upaya Indonesia untuk mengatasi perubahan iklim.
Dalam sebuah laporan investigasinya berjudul "Bagaimana Sinar Mas Meluluhkan Bumi" (How Sinar Mas is Pulping the Planet), LSM menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan besar internasional, seperti supermarket Perancis Carrefour dan Auchan, raksasa ritel AS Walmart, Tesco supermarket dari Inggris.
Selain itu, peritel kelompok W.H. Smith, AS, raksasa elektronik Hewlett Packard, AS, rantai makanan cepat saji KFC, Belanda kantor perusahaan dan Corporate Express kertas Australia global pemasok PaperlinX juga ikut bertanggung jawab dalam perusakan hutan alam dan lahan gambut kaya karbon di Indonesia karena berhubungan bisnis dengan APP, anak perusahaan Sinar Mas.
"Komitmen keberlanjutan Sinar Mas hanya terjadi di atas kertas dan beberapa merek paling terkenal di dunia ikut meluluhkan bumi dengan membeli produk dari mereka," kata Bustar.
Investigasi baru ini juga menggarisbawahi bagaimana upaya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengurangi emisi gas rumah kaca Indonesia dari "deforestasi" bisa sia-sia jika moratorium (penghentian sementara) penebangan hutan tidak memasukkan penghancuran hutan dan lahan gambut yang sudah dan sedang terjadi saat ini.
Menurut dia, jutaan hektare hutan, termasuk ratusan ribu hektare yang berada di bawah kendali Sinar Mas, memang tidak termasuk dalam kesepakatan dengan Norwegia. "Celah ini bisa membuat sia-sia semua upaya untuk mengurangi emisi Indonesia," ujarnya.
Dia berpendapat Presiden Yudhoyono harus segera melakukan implementasi moratorium pada semua perusakan hutan dan memastikan perlindungan menyeluruh terhadap lahan gambut. "Hanya dengan cara itu kita bisa memastikan Indonesia bisa menurunkan emisi gas rumah kaca," kata Bustar menandaskan.
Dia lanyas menyerukan semua perusahaan, seperti superpermarket dan restoran cepat saji, untuk berhenti berbisnis dengan Sinar Mas segera, dan memastikan tidak ada lagi hubungan dengan perusakan hutan dalam rantai produksi mereka.
"Kami juga mendesak mereka untuk mengumumkan kepada publik dukungan kepada pemerintah Indonesia dalam perlindungan menyeluruh lahan gambut dan penghentian segala perusakan hutan," kata Bustar menegaskan.
Beberapa perusahaan terkemuka telah menanggapi bukti-bukti dari Greenpeace yang melaporkan praktik ilegal dan merusak lingkungan dari Sinar Mas Group di Indonesia dan membatalkan kontrak mereka dengan perusahaan minyak sawit Indonesia dan kertas raksasa. Carrefour Indonesia, kata Maitar, juga membenarkan telah berhenti membeli produk APP untuk merek sendiri.
Sinar Mas, menurut dia, mengoperasikan model bisnis mereka dengan penghancuran hutan alam
"Tuduhan yang disampaikan Greenpeace terhadap perusakan hutan di Indonesia sebagai bagian dari bentuk persaingan dunia di bidang perdagangan," kata Sulistyanto saat dimintai komentarnya mengenai tudingan Greenpeace terhadap Sinar Mas di Jakarta, Selasa (6/7).
Menurut dia, Greenpeace menggunakan isu lingkungan ketika pemerintah Amerika Serikat (AS) tengah melakukan investigasi atas isu dumping terhadap produk kertas Indonesia.
Karena itu, dia menegaskan, "Tidak benar, Sinar Mas merusak hutan di Indonesia."
Dia mengatakan justru kelompok usaha Sinar Mas mengelola hutan secara lestari, bukan merusak hutan seperti yang dituduhkan. "Tiap hari Sinar Mas menanam sedikitnya 1 juta pohon, bagaimana mungkin jika perusahaan kami merusak hutan," katanya membantah.
Meskipun demikian, Sulistyanto menyatakan tuduhan Greenpeace itu hanya dapat dijawab jika audit ditangani konsultan independen yang dapat bersikap lebih netral dalam memberikan penilaian terhadap isu lingkungan yang dilontarkan lembaga swadaya masyarakat (LSM) pemerhati lingkungan tersebut.
Sebelumnya, kata Sulistyo, produsen kertas Indonesia juga dituduh melakukan praktik dumping oleh Industri kertas Korsel. Mereka mengajukan petisi antidumping terhadap produk kertas Indonesia pada tanggal 30 September 2002 dan perkaranya itu akhirnya diproses di World Trading Organization (WTO), namun di WTO Indonesia menang.
Pada September 2009, produsen kertas di Amerika Serikat, NewPage Corp., Appleton Coated LLC., Sappi Fine Paper, bersama serikat pekerja the United Steelworkers of America juga pernah mengajukan petisi antidumping dan antisubdisi (countervailing) terhadap produsen kertas lapis asal Indonesia dan Cina. Dalam petisinya mereka menuduh pemerintah Indonesia dan Cina melakukan dumping kertas lapis.
Kasus yang sama juga pernah diajukan di negeri Paman Sam pada 2007. Namun, keberatan yang disampaikan pengusaha kertas AS akhirnya dianulir Komisi Perdagangan Internasional.
Sebelumnya, Greenpeace Asia Tenggara menuding Divisi Pulp and Paper Sinar Mas, Asia Pulp and Paper (APP), masih terus melakukan perusakan hutan dan menyebabkan punahnya keanekaragaman hayati penting.
Jika perusakan hutan itu terus dibiarkan, kata juru kampanye hutan Greenpeace Asia Tenggara, Bustar Maitar dalam siaran pers Greenpeace yang diterima di Jakarta, Selasa, tindakan kelompok usaha kehutanan dan perkebunan tersebut akan mengancam upaya Indonesia untuk mengatasi perubahan iklim.
Dalam sebuah laporan investigasinya berjudul "Bagaimana Sinar Mas Meluluhkan Bumi" (How Sinar Mas is Pulping the Planet), LSM menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan besar internasional, seperti supermarket Perancis Carrefour dan Auchan, raksasa ritel AS Walmart, Tesco supermarket dari Inggris.
Selain itu, peritel kelompok W.H. Smith, AS, raksasa elektronik Hewlett Packard, AS, rantai makanan cepat saji KFC, Belanda kantor perusahaan dan Corporate Express kertas Australia global pemasok PaperlinX juga ikut bertanggung jawab dalam perusakan hutan alam dan lahan gambut kaya karbon di Indonesia karena berhubungan bisnis dengan APP, anak perusahaan Sinar Mas.
"Komitmen keberlanjutan Sinar Mas hanya terjadi di atas kertas dan beberapa merek paling terkenal di dunia ikut meluluhkan bumi dengan membeli produk dari mereka," kata Bustar.
Investigasi baru ini juga menggarisbawahi bagaimana upaya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengurangi emisi gas rumah kaca Indonesia dari "deforestasi" bisa sia-sia jika moratorium (penghentian sementara) penebangan hutan tidak memasukkan penghancuran hutan dan lahan gambut yang sudah dan sedang terjadi saat ini.
Menurut dia, jutaan hektare hutan, termasuk ratusan ribu hektare yang berada di bawah kendali Sinar Mas, memang tidak termasuk dalam kesepakatan dengan Norwegia. "Celah ini bisa membuat sia-sia semua upaya untuk mengurangi emisi Indonesia," ujarnya.
Dia berpendapat Presiden Yudhoyono harus segera melakukan implementasi moratorium pada semua perusakan hutan dan memastikan perlindungan menyeluruh terhadap lahan gambut. "Hanya dengan cara itu kita bisa memastikan Indonesia bisa menurunkan emisi gas rumah kaca," kata Bustar menandaskan.
Dia lanyas menyerukan semua perusahaan, seperti superpermarket dan restoran cepat saji, untuk berhenti berbisnis dengan Sinar Mas segera, dan memastikan tidak ada lagi hubungan dengan perusakan hutan dalam rantai produksi mereka.
"Kami juga mendesak mereka untuk mengumumkan kepada publik dukungan kepada pemerintah Indonesia dalam perlindungan menyeluruh lahan gambut dan penghentian segala perusakan hutan," kata Bustar menegaskan.
Beberapa perusahaan terkemuka telah menanggapi bukti-bukti dari Greenpeace yang melaporkan praktik ilegal dan merusak lingkungan dari Sinar Mas Group di Indonesia dan membatalkan kontrak mereka dengan perusahaan minyak sawit Indonesia dan kertas raksasa. Carrefour Indonesia, kata Maitar, juga membenarkan telah berhenti membeli produk APP untuk merek sendiri.
Sinar Mas, menurut dia, mengoperasikan model bisnis mereka dengan penghancuran hutan alam
Langganan:
Postingan (Atom)