Senin, 25 Oktober 2010

persaingan dunia

DI tengah budaya global seperti saat ini, kompetisi dengan menggunakan standar kualitas internasional semakin nyata di hadapan kita. Semua aspek kehidupan seakan dipaksa untuk mengikuti standar yang bersifat global, mulai dari produk barang dan jasa sampai gaya hidup (life style) keseharian. Praktik kehidupan seperti itu secara mudah melanda bangsa kita. Anak-anak bangsa kita seakan dipaksa untuk membeli produk teknologi global secara membabi buta tanpa memperhitungkan kemanfaatannya secara fungsional melalui media iklan di media massa yang dikemas dengan amat ramah dan menarik. Bagi anak-anak indonesia yang tak memiliki kesadaran diri yang kuat, ia pasti akan serta merta mengikuti tanpa banyak pertimbangan.
Produk teknologi global untuk anak-anak memang tak terbendung saat ini. Berbagai produk dengan beragam merek mutakhir seakan menjejali dunia anak-anak kita. Sehingga, sejak dini hampir tak pernah tersadari bahwa ternyata anak-anak tumbuh menjadi generasi yang sangat konsumtif. Dalam diri anak-anak Indonesia telah terbentuk kepribadian ketergantungan yang sangat kuat dengan produk teknologi global. Dalam kondisi ini potensi dan daya kreatif anak-anak bangsa kita secara tak langsung terlumpuhkan karena terhipnotis oleh produk-produk yang menggiurkan kenikmatan dunia anak. Seiring dengan gempuran produk ini, anak jadi teralienasi dari internalisasi nilai keindonesiaan. Maka itu, tak heran manakala saat ini idola anak-anak kita berada dalam tokoh-tokoh yang ada dalam produk budaya global yang menghiasi kehidupannya.
Tak adanya perimbangan dengan produk negeri sendiri membuat produk global (asing) sangat mendominasi dunia anak-anak kita. Akibatnya, secara otomatis, anak-anak bangsa kita lebih mengenali nilai budaya global daripada nilai budaya sendiri. Dan itu sangat-sangat disayangkan sekali.Maka saat ini hampir sulit mengucap: “Kenalilah budaya sendiri sebelum mengenali budaya asing”. Mungkin masih bersyukur jika anak-anak kita terlebih dulu mengenali budaya asing sebelum mengenali budaya kita sendiri. Namun, realitas yang terjadi saat ini adalah anak-anak kita hanya mengenali budaya asing dan terasing dari budaya bangsanya sendiri.
Secara simultan pula bahwa sejak awal sebenarnya tak terjadi penginternalisasian nilai-nilai keindonesiaan pada anak-anak kita. Semuanya sebagai akibat kuatnya hegemoni produk-produk budaya global, yang menenggelamkan dan melenakan anak-anak kita, sehingga menjauhkan anak-anak kita dari identitas diri sebagai anak Indonesia. Identitas diri keindonesiaan pada diri anak sejak awal sudah terkikis. Sebagai orangtua, mungkin kita acapkali tak memikirkan sampai sejauh itu. Sebab, biasanya yang terpenting adalah anak-anak kita menjadi senang.
Dunia anak-anak bangsa kita saat ini memang telah didominasi dengan produk dan budaya global semacam itu. Mereka memang sudah masuk dalam jaring-jaring kehidupan budaya global, apalagi sekarang ini merebak dunia maya internet. Di dunia ini anak-anak kita dapat menjelajah dunia yang serba tak berbatas ruang dan waktu lagi. Dunia anak seakan sudah menjadi semacam dunia yang tak terkendali dan terbatas, sehingga proses internalisasi nilai-nilai budaya bangsa sendiri saat ini seakan tinggal menjadi seonggok romantisme.
Kendatipun demikian, realitasnya, saat ini kita sebagai orang Indonesia seharusnya memang masih perlu berjuang keras untuk setidaknya menyisipkan nilai-nilai budaya bangsa kita, agar kaki anak-anak kita masih berpijak pada kultur keindonesiaannya. Artinya, perlu ada arahan dari kita sebagai orangtua agar anak-anak kita tak tenggelam dalam budaya global dan melupakan budayanya sendiri. Persoalannya sekarang adalah, kita perlu memikirkan cara-cara yang lebih menarik perhatian anak, misalnya dengan mengemas permainan yang bernuansa keindonesiaan menjadi produk-produk yang menyenangkan anak.

0 komentar:

Posting Komentar